“Awalnya adalah revolusi dengan semangat meletup-letup, setelah itu adalah kerja membangun dengan kesabaran berlipat-lipat. Mulanya mungkin adalah cinta yang nyaris membuat buta, selebihnya adalah kerja sabar membina keluarga…”
Jika kita amati, ada momentum dalam hidup kita yang pada suatu ketika lebih banyak menuntut semangat ketimbang kesabaran. Sedangkan di momentum yang lain, kesabaran ternyata lebih banyak dibutuhkan.
Yang jadi pertanyaan kemudian: seberapakah proporsi semangat-kesabaran itu diperlukan dalam rentang hidup yang panjang? Seorang teman yang melankolik, lebih tepatnya suka “menggombal” (bukti kegombalannya: Ia menyebut dirinya Pangeran), pernah memberi inspirasi melalui SMS untuk merumuskan proporsi dua hal itu jadi begini: “Jika semangat itu seperti sungai, maka kesabaran harus seperti samudera”
Dengan sedikit mengabaikan kegombalan ”Sang Pangeran” itu, kita menemukan pelajaran: kesabaran ternyata jauh lebih banyak diperlukan dalam proporsi jumlah dan lama waktunya.
Kita bisa melihat: fase rekonstruksi dalam penanggulangan bencana selalu lebih panjang dan membutuhkan kesabaran lebih banyak dari fase emergency-nya. Fase membina keluarga dan mendidik anak jauh lebih panjang ketimbang masa bulan madunya. Demikian pula, konsekuensi syahadat tak sebanding jika disepadankan dengan waktu pengucapannya.
Kesabaran juga lebih banyak dibutuhkan dalam perjuangan membangun negeri, karena revolusi –yang banyak menghajatkan semangat dan keberanian berlebih– ternyata tidak bisa terjadi tiap hari. Revolusi membutuhkan sekian banyak syarat yang tak tersedia di setiap zaman. Bahkan, revolusi pun ternyata harus manut jadwal, sehingga Emil Salim (sepertinya dengan bercanda) memberi judul bukunya: Revolusi Berhenti di Hari Minggu.
Semangat yang berlebih seringkali justeru jadi sebab sikap ekstrem yang kontra produktif. Sikap yang kadang harus hidup dengan adanya musuh buatan dan dramatisasi keadaan. Padahal, musuh itu kadang berwujud nafsu diri dan keadaan pun sering terlihat biasa-biasa saja.
Namun, apakah makna kesabaran ketika dihubungkan dengan semangat? Fragmen sejarah berikut penting diambil pelajaran.
Anak Umar bin Abdul Aziz yang bernama Abdul Malik pernah berkata sambil emosi, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang engkau akan katakan kepada Rabb-mu besok, jika Dia bertanya kepadamu dengan firmannya, “Kamu melihat bid’ah tapi kamu tidak membunuhnya, atau mengetahui sunnah, tetapi kamu tidak menghidupkannya?”
Ayahnya berkata, “Wahai Anakku, sesungguhnya kaummu telah mengikat hal itu satu ikat satu ikat, ketika aku ingin memaksa mereka untuk melepaskan sesuatu yang ada di tangan mereka, saya tidak aman jika merebutnya dengan keras, karena akan semakin banyak mengeluarkan darah. Apakah kamu tidak rela, jika datang kepada ayahmu satu hari dari hari-hari di dunia ini kecuali dia telah membunuh bid’ah dan menghidupkan sunnah pada hari itu?”
Selain makna pentingnya kebertahapan, kisah Umar bin Abdul Aziz tersebut mengajarkan pula bahwa kesabaran itu bisa berarti: menebar semangat di setiap hari-hari kita. Sampai kemudian, tidak ada hari selain ada matinya satu bid’ah dan hidupnya satu sunnah di hari itu. “Apakah kamu tidak rela, jika datang kepada ayahmu satu hari dari hari-hari di dunia ini kecuali dia telah membunuh bid’ah dan menghidupkan sunnah pada hari itu?”
Sehingga, orang yang sabar sebenarnya adalah orang yang selalu bersemangat di semua hari-harinya, bukan orang yang lemah, lamban lagi menjemukan. Bukan pula seperti orang miskin yang tak memahami artinya kaya sehingga ia terus bertahan dalam kemiskinannya. Orang yang sabar adalah mereka yang punya cita, terus berjuang, sampai kemudian ia berhasil, mengerti dan mendapat hikmah dari kegagalan yang pernah dialaminya. Orang sabar adalah orang yang selalu progresif, selalu punya agenda dakwah, meminjam istilah Umar: membunuh bid’ah dan menghidupkan sunnah setiap hari. Dan semuanya itu tak mungkin tanpa semangat yang terdistribusi secara proporsional.
Ketika dakwah ini punya semboyan: hamasatus-sabab wa hikmatusy-syuyukh, semangatnya para pemuda dan hikmahnya para orang tua, mestinya hubungan antar keduanya itu kita pahami seperti hubungan antara sungai dan laut. Semangat itu harus sambung-menyambung hingga menjelma jadi samudera hikmah dan kesabaran yang dinamis, karena kesabaran –pada hakekatnya ternyata– adalah semangat yang melaut. Kesabaran bukan aliran air sungai yang menggenang di rawa-rawa, tetapi aliran sungai yang melaut dan menjadikannya ombak yang terus bergerak.
Dan ketika mendengar Yusuf Al-Qaradhawy ceramah dengan berapi-api di Jakarta beberapa waktu lalu, kita pun jadi menemukan contoh: begitulah sosok hamasatus-sabab wa hikmatusy-syuyukh ketika menjelma utuh jadi satu pribadi. Al-Qaradhawy telah menjadikan semangatnya melaut hingga jadi kesabaran yang dinamis. Dengan kesabarannya itulah ia melahirkan sikap moderat, karya-karya besar dan ceramah yang menggerakkan. Wallahu A’lam.