Sunday, April 1, 2007

Semangat Laut



“Awalnya adalah revolusi dengan semangat meletup-letup, setelah itu adalah kerja membangun dengan kesabaran berlipat-lipat. Mulanya mungkin adalah cinta yang nyaris membuat buta, selebihnya adalah kerja sabar membina keluarga…”

Jika kita amati, ada momentum dalam hidup kita yang pada suatu ketika lebih banyak menuntut semangat ketimbang kesabaran. Sedangkan di momentum yang lain, kesabaran ternyata lebih banyak dibutuhkan.

Yang jadi pertanyaan kemudian: seberapakah proporsi semangat-kesabaran itu diperlukan dalam rentang hidup yang panjang? Seorang teman yang melankolik, lebih tepatnya suka “menggombal” (bukti kegombalannya: Ia menyebut dirinya Pangeran), pernah memberi inspirasi melalui SMS untuk merumuskan proporsi dua hal itu jadi begini: “Jika semangat itu seperti sungai, maka kesabaran harus seperti samudera”

Dengan sedikit mengabaikan kegombalan ”Sang Pangeran” itu, kita menemukan pelajaran: kesabaran ternyata jauh lebih banyak diperlukan dalam proporsi jumlah dan lama waktunya.
Kita bisa melihat: fase rekonstruksi dalam penanggulangan bencana selalu lebih panjang dan membutuhkan kesabaran lebih banyak dari fase emergency-nya. Fase membina keluarga dan mendidik anak jauh lebih panjang ketimbang masa bulan madunya. Demikian pula, konsekuensi syahadat tak sebanding jika disepadankan dengan waktu pengucapannya.

Kesabaran juga lebih banyak dibutuhkan dalam perjuangan membangun negeri, karena revolusi –yang banyak menghajatkan semangat dan keberanian berlebih– ternyata tidak bisa terjadi tiap hari. Revolusi membutuhkan sekian banyak syarat yang tak tersedia di setiap zaman. Bahkan, revolusi pun ternyata harus manut jadwal, sehingga Emil Salim (sepertinya dengan bercanda) memberi judul bukunya: Revolusi Berhenti di Hari Minggu.

Semangat yang berlebih seringkali justeru jadi sebab sikap ekstrem yang kontra produktif. Sikap yang kadang harus hidup dengan adanya musuh buatan dan dramatisasi keadaan. Padahal, musuh itu kadang berwujud nafsu diri dan keadaan pun sering terlihat biasa-biasa saja.
Namun, apakah makna kesabaran ketika dihubungkan dengan semangat? Fragmen sejarah berikut penting diambil pelajaran.

Anak Umar bin Abdul Aziz yang bernama Abdul Malik pernah berkata sambil emosi, “Wahai Amirul Mukminin! Apa yang engkau akan katakan kepada Rabb-mu besok, jika Dia bertanya kepadamu dengan firmannya, “Kamu melihat bid’ah tapi kamu tidak membunuhnya, atau mengetahui sunnah, tetapi kamu tidak menghidupkannya?”

Ayahnya berkata, “Wahai Anakku, sesungguhnya kaummu telah mengikat hal itu satu ikat satu ikat, ketika aku ingin memaksa mereka untuk melepaskan sesuatu yang ada di tangan mereka, saya tidak aman jika merebutnya dengan keras, karena akan semakin banyak mengeluarkan darah. Apakah kamu tidak rela, jika datang kepada ayahmu satu hari dari hari-hari di dunia ini kecuali dia telah membunuh bid’ah dan menghidupkan sunnah pada hari itu?”

Selain makna pentingnya kebertahapan, kisah Umar bin Abdul Aziz tersebut mengajarkan pula bahwa kesabaran itu bisa berarti: menebar semangat di setiap hari-hari kita. Sampai kemudian, tidak ada hari selain ada matinya satu bid’ah dan hidupnya satu sunnah di hari itu. “Apakah kamu tidak rela, jika datang kepada ayahmu satu hari dari hari-hari di dunia ini kecuali dia telah membunuh bid’ah dan menghidupkan sunnah pada hari itu?”

Sehingga, orang yang sabar sebenarnya adalah orang yang selalu bersemangat di semua hari-harinya, bukan orang yang lemah, lamban lagi menjemukan. Bukan pula seperti orang miskin yang tak memahami artinya kaya sehingga ia terus bertahan dalam kemiskinannya. Orang yang sabar adalah mereka yang punya cita, terus berjuang, sampai kemudian ia berhasil, mengerti dan mendapat hikmah dari kegagalan yang pernah dialaminya. Orang sabar adalah orang yang selalu progresif, selalu punya agenda dakwah, meminjam istilah Umar: membunuh bid’ah dan menghidupkan sunnah setiap hari. Dan semuanya itu tak mungkin tanpa semangat yang terdistribusi secara proporsional.

Ketika dakwah ini punya semboyan: hamasatus-sabab wa hikmatusy-syuyukh, semangatnya para pemuda dan hikmahnya para orang tua, mestinya hubungan antar keduanya itu kita pahami seperti hubungan antara sungai dan laut. Semangat itu harus sambung-menyambung hingga menjelma jadi samudera hikmah dan kesabaran yang dinamis, karena kesabaran –pada hakekatnya ternyata– adalah semangat yang melaut. Kesabaran bukan aliran air sungai yang menggenang di rawa-rawa, tetapi aliran sungai yang melaut dan menjadikannya ombak yang terus bergerak.

Dan ketika mendengar Yusuf Al-Qaradhawy ceramah dengan berapi-api di Jakarta beberapa waktu lalu, kita pun jadi menemukan contoh: begitulah sosok hamasatus-sabab wa hikmatusy-syuyukh ketika menjelma utuh jadi satu pribadi. Al-Qaradhawy telah menjadikan semangatnya melaut hingga jadi kesabaran yang dinamis. Dengan kesabarannya itulah ia melahirkan sikap moderat, karya-karya besar dan ceramah yang menggerakkan. Wallahu A’lam.

Saturday, March 31, 2007

Laku Sunyi



“Dalam setiap keberhasilan, selalu ada sunyi yang mengiringi.”
Kita akan menemui sekian banyak fakta yang mendukung tesis ini dari sejarah panjang berbagai peradaban.

Mari kita lihat Eropa. Kemajuan Eropa tak hanya berasal dari gempita Perang Salib yang berlangsung berabad-abad; yang memungkinkan mereka mengenal dan mengadopsi kemajuan peradaban Islam. Bukan hanya dari kisah sedih inkuisisi Galileo dan sederet cendekia yang dikafirkan gereja. Bukan juga sekedar dari hiruk pikuk penemuan-penemuan para ilmuwan yang menandai Abad Pencerahan.

Di sela gempita dan hiruk pikuk itu semua, ada potongan sejarah sunyi yang sering tak diperhatikan. Potongan sejarah itu bisa dilihat dari kerja para rahib di biara ordo Santo Benedictus, ketika mereka mengabdikan hampir semua hidupnya untuk menulis manuskrip dan menggantikan peran mesin cetak yang belum ditemukan. Mereka menerjemahkan, membuat transkrip dan menyalin khazanah peradaban Islam, Yunani, Persia, dan peradaban dunia lainnya. “Tak ada kerja aktif yang lebih baik bagi biarawan caritas selain tetap berjaga semalaman menyalin naskah-naskah ilahiah,” tulis Trithemius, salah seorang kepala Ordo Benedictus.

Kelak, manuskrip salinan para rahib tersebut mendasari Galileo mendukung teori heliosentris-nya Copernicus, Archimedes menemukan hukum tentang tekanan air ketika mandi di bak, Newton menemukan hukum gravitasi ketika melihat apel jatuh dari pohon, dan seterusnya. Para filsuf dan ilmuwan Eropa tak mengawalinya dari imajinasi di ruang hampa. Apalagi menemukannya dengan tiba-tiba. Mereka membentuk pola pikir dengan referensi utama manuskrip para rahib itu.

Jika kita tengok sejarah Islam, kita pun akan menemui fase sunyi serupa, tatkala dakwah Islam baru mulai berkembang. Para sahabat pendahulu di masa itu diminta Allah: “Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, … Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan di waktu itu) lebih berkesan.” (QS. Al Muzammil: 2 dan 6). Kita juga tahu dari kitab sirah, bagaimana para sahabat mendidik diri dengan gigih di rumah Arqam bin Abi Arqam. Kelak kemudian, para sahabat didikan shalat malam dan rumah Al-Arqam ini menjadi poros utama kejayaan Islam di masa khilafah rasyidah. Ketika kemudian datang generasi berikutnya, datang pula masa instabilitas kekhilafahan.

Laku sunyi dengan bentuknya yang berbeda akan kita temukan pula di banyak kisah sukses pribadi para pahlawan, ilmuwan, negarawan, pebisnis, seniman sampai para olahragawan. Mereka bisa sukses dan berprestasi tidak dengan tiba-tiba. Ada laku sunyi yang telah menjadi hukum besi untuk dijalani. Kita bisa melihat laku sunyi mereka itu dalam biografi-biografi atau profil mereka di koran. Bahkan, Inul Daratista yang punya ‘prestasi’ kontraversial itu pun punya laku sunyi yang cukup panjang: ketika ia bertahun-tahun jadi penyanyi keliling kampung dengan upah yang cekak.

Orang yang masih menjalani laku sunyinya berarti ia masih terus bergerak menuju puncak. Lingkungan boleh telah ramai, tapi orang yang mengerti akan tetap menjaga jiwanya tenang di kesunyian. Sedangkan orang yang tak memahami, maka ia mudah terjebak keramaian. Orang yang telah meninggalkan laku sunyinya sebenarnya sudah berhenti, atau malah bergerak menuju titik nadir. Ini juga berlaku untuk sebuah peradaban. Sehingga, setelah tesis pertama tentang kesunyian itu, ada tesis kedua tentang keramaian yang perlu kita perhatikan: “Ketika hiruk pikuk, apalagi gelar sudah datang, sering kali itu adalah awal menuju antiklimaks.”

Banyak orang bisa bersabar menjalani masa sunyinya, tetapi cepat gagal di masa keramaiannya. Kita bisa melihat dengan mudah kisah para selebritis yang mulai banyak tingkah ketika ia menjadi orang terkenal. Padahal, sebelumnya ia begitu lurus ketika belum jadi apa-apa.

Kisah tentang selebritis mungkin dengan mudah bisa kita lihat, tetapi berlakunya tesis kedua ini pada orang berbakat ini bisa lebih tersembunyi. Bahkan mungkin tak kita sadari.

Nurcholish Madjid adalah orang yang punya potensi demikian luar biasa. Tetapi konon, ia tak punya lagi pemikiran yang cemerlang ketika ia sudah mendapat gelar Bapak Pembaharuan. Amien Rais, ia banyak dikritik tak lagi punya ide progresif bahkan menurun (mudah-mudahan ini penilaian yang salah) justeru ketika ia mulai mendapat gelar Bapak Reformasi. Hal yang lebih jelas bisa kita lihat pada Sukarno setelah mendapat ‘gelar’ Bapak Revolusi dan Suharto setelah menisbatkan diri sebagai Bapak Pembangunan.

Kedua tesis itu mungkin perlu banyak diuji validitasnya sebelum menjadi teori. Tetapi, pelajaran sebenarnya telah kita dapatkan. Laku sunyi selalu niscaya dan keramaian seringkali melahirkan jebakan. Kita tentu tak ingin prestasi kita sudah sampai di sini, jamaah dakwah tak lagi berkembang dan ummat Islam mandeg dalam kejumudan. Apalagi justeru bergerak ke belakang dan turun ke titik nadir. Diam saja kita pasti akan ditinggal, apalagi jika mundur ke belakang. Sehingga, laku sunyi harus selalu kita lakukan dan keramaian tak boleh melenakan.

Dengan apa kita jalankan laku sunyi itu? Nabi sudah memberikan teladan. Jika prestasi yang kita maksudkan di sini adalah prestasi dalam konteks dakwah, maka secara pribadi, praktek laku sunyi itu adalah sholat malam yang tak boleh berhenti. Secara kolektif adalah pendidikan ala rumah Arqam yang tak boleh ditinggal. Sebab, kondisi jiwa -pribadi dan kolektif- kita harus tetap tenang di kesunyian, seramai apa pun zaman. Wallahu a’lam. ■

Arsan Nurrokhman
Tulisan ini pernah dimuat di Lentera Jogja, Edisi VI/Februari 2006